BAB I
PENDAHULUAN
- Latarbelakang Masalah
Khawarij
adalah salah satu nama aliran di dalam pembahasan ilmu kalam. Khawarij
merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi
Tholib yang keluar dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak
sepakat dengan keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam
perang Shiffin pada tahun 37 H atau 648 M,
dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin Abi Sufyan tentang
persengketaan khilafah.
Beberapa sebab mengapa aliran ini dinamakan Khawarij:
1. Golongan ini keluar dari barisan Ali
bin Abi Tholib. Mereka sebenarnya pengikut Ali, kaeana tidak setuju dengan
tahkim atau perjanjian sebagai jalan keluar dala penyelesaian persengketaan
tentang kholifah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
2. Khawarij berasal dari kata “khoroja”
yang berarti keluar. Mengandung maksud bahwa mereka (sebagian pengikut Ali )
keluar dari barisan Ali.
- Rumusan Masalah
Munculnya Khawarij yang memisahkan diri dari kekhalifahan
Ali yang sah mencerminkan pergeseran persoalan dari politik ( kholifah )
menjadi masalah agama. Sebab mereka mengangap Ali telah berdosa dan telah
menyeleweng dari ketentuan agama Islam.
Perlawanan khawarij tidak hanya kepada Ali saja akan tetapi
pada Islam yang sah. Baik bani Umayah maupun bani Abasiyah. Karena mereka
dianggap dinasti yang menyeleweng dari ketentuan agama Islam. Utsman dianggap
juga menyeleweng sejak tahun ke-7 dari masa kekhalifahannya. Sedangkan Ali
sejak peristiwa tahkim/perjanjian.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Searah Kelahiran Khawarij
Khawarij merupakan suatu kelompok aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi Tholib yang
keluar dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan
keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Siffin
pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin
Abi Sufyan tentang persengketaan khilafah.
Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti
keluar. Nama itu diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali.
Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan
atas ayat 100 surat An-Nisa’, yang artinya: “Keluar dari rumah lari kepada
Allah dan Rasul-Nya”. Dengan demikian, kaum Khawarij memandang diri mereka
sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan
diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian mereka menyebut diri mereka dengan sebutan Syurah,
yang berasal dari kata yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam
207 surat Al-Baqarah: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh
keridhaan Allah”. Nama lain yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari
kata Harura, satu desa
yang terletak di dekat kota Kuffah, di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada
waktu itu berjumlah duabelas ribu orang, berkumpul
setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka memilih Abdullah bin Abi wahab Al-Rasidi menjadi imam
mereka sebagai ganti dari Ali bin Abi Tholib. Dalam pertempuran
dengan Ali, mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang Khariji
bernama Abdurrahman bin Muljam dapat membunuh Ali.
Walaupun telah mengalami kekalahan, kaum Khawarij menyusun
barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan Islam resmi baik di
zaman dinasti Bani Umaiyyah maupun di zaman dinasti Bani Abbas.
Pemegang-pemegang kekuasaan yang pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng
dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.
Awalnya, khalifah atau pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin
Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima. Bahwa kedua khalufah ini
diangkat dan bahwa keduanya tidak menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, mereka
akui. Tetapi Usman bin Affan mereka anggap telah menyeleweng dari mulai tahun
ke- 7 dari masa khalifahnya. Dan Ali juga mereka pandang menyeleweng sesudah
peristiwa arbitrase. Sejak waktu itulah Usman dan Ali bagi mereka telah menjadi
kafir. Demikian halnya dengan Mu’awiyyah, Amr bin As, Abu Musa al-Asy’ari serta
semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam.
B. Ajaran-Ajaran Pokok Khawarij
Ajaran-pokok Khawarij antara lain:
1. Kategori Politik
1. Khalifah atau imam harus dipilih
secara bebas oleh seluruh umat Islam.
2. Khalifah tidak harus dari keturunan
Arab. Dengan demikian setiap muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah
memenuhi syarat.
3. Khalifah dipilih secara permanen
selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus
dijatuhkan bahkan dibunuh bila melakukan kezhaliman.
4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar,
Umar dan Usman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke- 7 dari masa khalifah Usman
dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah Ali mereka pandang
menyeleweng setelah terjadi arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng.
6. Muawiyyiah dan Amr bin Ash serta Abu
Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah kafir.
7. Pasukan Jamal yang melawan Ali juga
kafir.
2. Kategori Teologi
1. Seseorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau),
mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanguung
beban harus dilenyapkan pula.
2. Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka.bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi
karena hidup dalam dar al-Harb (Negara musuh), sedang golongan mereka
sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (Negara Islam).
3. Seseorang harus menghindar dari
pemimpin yang menyeleweng.
4. Adanya wa’ad dan wa’id (orang
yang baik masuk surga, sedangkan orang yang jahat masuk neraka).
3. Kategori
Sosial
1. Amar ma’ruf nahi munkar.
2. Memalingkan ayat-ayat Al-qur’an yang
tampak mutasabihat.
3. Al-Qur’an adalah makhluk
4. Manusia bebas memutuskan
perbuatannya bukan dari Tuhan.
C. Sekte-Sekte dan Ajarannya
Sekte-sekte, perpecahan
atau golongan yang ada di dalam Khawarij antara lain:
1. Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli
dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Menurut mereka, Ali, Muawiyyah, kedua pengantara Amr
bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase
bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan
artinya, sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat zina dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka
menurut mereka orang yang berzina telah menjadi kafir. Begitu pula membunuh
sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar dan menjadi kafir.
Demikian seterusnya dengan dosa-dosa besar yang lainnya.
2. Al-Azariqah
Golongan yang dapat
menyusun barisan baru dan besar serta kuat sesudah al-Muhakkimah hancur adalah
golongan al-Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak
dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ bin Azraq. Pengikutnya, menurut
al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka
pilih ialah Nafi’ sendiri. Dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mukminin.
Nafi’ mati dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Golongan ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah.
Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist.
Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tak
sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengan al-Azariqah tapi
tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dengan
kata lain, orang al-Azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkungan mereka dan
tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang musyrik. Dan
barangsiapa yang datang ke daerah mereka dan mengakui al-Azariqah tidaklah
diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya diserahkan seorang tawanan.
Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima dengan baik. Tetapi kalau tawanan
itu tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri yang mereka penggal.
Sikap yang tidak mau mencabut nyawa
tawanan itu, memberi keyakinan kepada mereka bahwa ia berdusta dan sebenarnya
bukan penganut paham al-Azariqah. Lebih lanjut lagi, bukan hanya orang Islam
yang tak sepaham dengan mereka, bahkan anak istri orang-orang yang demikianpun
boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh.
Menurut paham subsekte yang ekstrim ini
hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam. Orang Islam yang di luar
lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Mereka selalu
bertanya pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan
mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan al-Azariqah, mereka bunuh.
3. Al-Najdat
Najdah bin Amir al-Hanafi dari Yamamah
dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya
ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi
dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari
pengikut- pengikut Nafi’ bin Azraq, diantaranya adalah Abu Fudaik, Rasyid
al-Tawil dan Atiah al-Hanafi, tidak dapat
menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah ke
dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Demikian pula mereka yang tak
setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-
orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.
Abu Fudaik dengan teman-teman serta
pengikutnya memisahkan diri dari Nafi’ dan pergi ke Yamamah. Disini mereka
dapat menarik Najdah ke pihak mereka dalam pertikaian paham dengan Nafi’,
sehingga Najdah dengan pengikut-pengikutnya membatalkan rencana untuk berhijrah
ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Pengikut Abu Fudaik dan pengikut Najdah
bersatu dan memilih Najdah sebagai imam baru. Nafi’ bin Azraq tidak lagi
diakuisebagai imam. Nafi’ telah mereka pandang kafir dan demikian pula orang
yang masih mengakuinya sebagai imam.
Najdah berpendapat bahwa orang berdosa
besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak
sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar, betul
akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan di dalam neraka dan kemudian akan masuk
surga.
Dosa kecil baginya akan menjadi dosa
besar, kalu dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi
musyrik.
Seterusnya ia berpendapat bahwa yang
diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui Allah dan rasul-rasul-Nya,
mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang
diwahyukan Allah kepada rasul-Nya. Orang yang tak mengetahui ini tak dapat
diampuni. Yang dimaksud orang-orang Islam disini adalah pengikut-pengikut
Najdah. Dalam hal-hal selain tersebut diatas, orang Islam tidak diwajibkan
mengetahuinya. Kalau ia mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidaktahu bahwa
hal itu haram, ia dapat dimaafkan.
Dalam kalangan al-Khawarij, golongan
inilah yang membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak
menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang. Taqiah, menurut
pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk
perbuatan.
Tetapi tidak pula semua pengikut Najdah
setuju dengan pendapat dan ajaran-ajaran diatas, terutama paham bahwa dosa
besar tidak membuat pengikutnya menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa
menjadi dosa besar. Perpecahan di kalangan mereka kelihatannya ditimbulkan oleh
pembagian ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang diambil
Najdah terhadap khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti bani Umaiyyah.
Dala salah satu serangan yang dipimpin anak Najdah sendiri, mereka memperoleh
harta dan tawanan. Tetapi sebelum dikeluarkan seperlima daripadanya, sebagai
diwajibkan dalam syari’at dan sebelum mereka kembali ke pangkalan, harta dan
tawanan itu telah dibagi oleh yang turut dalam serangan tersebut diantara
mereka sendiri. selanjutnya dalam serangan terhadap kota Madinah mereka dapat
menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh Abdul Malik.
Permintaan ini dikabulkan oleh Najdah, hal mana tak dapat disetujui
pengikutnya, karena Abdul Malik adalah musuh mereka.
Dalam perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid
al-Tawil dan anak Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah
mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abu Fudaik dan Rasyid mengadakan
perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan penggal
lehernya.
4. Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karim bin
Ajrad yang menurut al-Syahratsani merupakan salah satu teman dari Atiah
al-Hanafi.
Kaum al-Ajaridah bersifat lebih lunak
karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai
diajarkan oleh Nafi’ bin Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan.
Dengan demikian kaum al-Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka
dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping itu, harta yang boleh dijadikan
rampasan perang hanyalah harta yang telah mati terbunuh, sedang menurut
al-Azariqah seluruh harta musuh bolehb dijadikan rampasan perang. Seterusnya
mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, tidak musyrik menurut
orangtuanya.
Selanjutnya kaum Ajaridah ini mempunyai
paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Qur’an membawa cerita cinta dan
Al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka tidak mungkin mengandung cerita
cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui bahwa surat Yusuf sebagai bagian
dari Al-Qur’an.
Sebagai golongan Khawarij lain,
golongan Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi golongan- golongan kecil.
Diantara mereka, yaitub golongan al-Maimuniah, menganut paham qadariyah.
Bagi mereka, semua perbuatan manusia baik dan buruk, timbul dari kemauan dan
kekuasaan manusia sendiri. Golongan al-Hamziyah juga mempunyai paham yang sama.
Tetapi golongan al-Syu’aibiyah dan al-Hazimiyah menganut paham sebaliknya. Bagi
mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak
dapat menentang kehendak Allah.
5. Al-Sufriyah
Pemimpin golongan ini ialah Ziyad bin
Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh
karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka
kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
a. Orang Sufriyah
yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b. Mereka tidak
berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c. Selanjutnya,
tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi
musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, dosa
yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh, berzina, dan dosa yang tak ada
sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang
berbuat dosa golongan pertama tidak dianggap kafir. Sedangkan golongan yang
kedua dianggap kafir.
d. Daerah golongan
Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus
diperangi; yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp pemerintah,
sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.
e. Kufr dibagi dua: kurf
bi inkar al-ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan. Dan kufr bi inkar
al-rububiyah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak
selamanya harus berarti keluar dari Islam.
Di samping pendapat-pendapat diatas
terdapat pendapat-pendapat yang spesifik bagi mereka:
a. Taqiyah hanya boleh
dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b. Tetapi walaupun
demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan
lelaki kafir, di daerah bukan Islam.
6. Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang
paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah
bin Ibad, yang apada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah.
Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a. Orang Islam
yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi
kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan
hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka adalah haram.
b. Daerah orang
Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah merupakan dar
tawhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperangi. Yang
merupakan dar kufr, yaitu yang harus diperangi hanyalah ma’askar pemerintah.
c. Orang Islam
yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi
bukan mukmin dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama. Dengan kata
lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
d. Yang boleh
dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
Tidaklah
mengherankan kalau paham moderat seperti di atas membuat Abdullah bin Ibad
tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan pemerintahan Dinasti
Bani Umayyah. Bahkan ia mempunyai hubungan yang baik dengan khalifah Abdul
Malik bin Marwan. Demikian pula halnya dengan Jabir bin Zaid al-Azdi, pemimpin
al-Ibadiyah sesudah Ibnu Ibad, mempunyai hubungan baik dengan al-Hajjaj, pada
waktu yang tersebut akhir ini dengan kerasnya memerangi golongan-golongan
Khawarij yang berpaham dan bersikap ekstrim.
Oleh karena
itu, jika golongan Khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam
sejarah, golongan al-Ibadiyah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di
Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan Arabia Selatan.
D.
Pengaruh ajaran
Khawarij
Sekte
al-Khawarij mempunyai beberapa mazhab dan masing-masing mazhab memiliki
pegangan dan prinsip tersendiri. Namun mereka para imam-imam mazhab sepakat
dengan satu prinsip utama mereka yaitu mengkafirkan sahabat Nabi saw sayyidina
Ali bin Abi Thalib ra, Sayyidina Usman bin Affan ra Muawiyyah bin Abu Sufyan
ra, Amr bin Ash ra, dan semua yang terlibat dalam proses arbitrase atau tahkim,
sampai kepada kelompok pelaku dosa yang diluar al-Khawarij juga divonis Kafir.
Golongan al-Muhakkimah menganggap orang yang berbuat dosa besar adalah kafir.
Kemudian al-Azariqah mudah mengkafirkan selain dari kelompok mereka, haram
mengkosumsi sembelihan dari selain kelompok mereka dan membunuh orang-orang
yang berbeda paham dengan mereka. Sedangkan al-Najdat berprinsip bahwa tidak
ada keperluan manusia kepada imam selama-lamanya, namun sekiranya umat
memerlukan pemimpin maka perlu diangkat, jika tidak diperlukan, maka tidak
boleh diangkat. Dalam golongan al-Ajaridah menganggap Surat Yusuf bukanlah
bagian dari Al-Qur’an. Ajaran al-Sufriyah memperbolehkan perempuan Islam
menikah dengan lelaki kafir. Selanjutnya al-Ibadiyah adalah golongan yang
moderat dari subsekte yang lainnya. Orang yang melakukan dosa besar tidak
divonis kafir dan tidak harus diperangi.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
Khawarij
merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi
Tholib yang keluar dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak
sepakat dengan keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam
perang Shiffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak)
Muawwiyah bin Abi Sufyan tentang persengketaan khilafah.
B.PENUTUP
Alhamdulillah
berkat rahmat, taufiq dan hidayah serta inaya Allah Tugas ILMU KALAM tentang
PEMIKIRAN KALAM KHAWARIJ ini telah dapat penulis selesaikan. Semoga Tugas ini bermanfaat dan
mendapat berkah Allah SWT bagi penulis khususnya dan bagi kiti semua umumnya.
Amin ya Robbal ‘Alamin. Wasalam
Kotabumi, 27 September 2013
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Al-Syahratsani, dkk, Al-Milal Wa al-Nihal, Jilid
I. Kairo: 1951.
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
CV. Pustaka Setia.
No comments:
Post a Comment