BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kaidah ushuliyyah adalah
kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan
kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat
untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan
As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah
Lugawiyah.
Memahami redaksi
Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas
dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita
bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut
teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan
dengan Ilmu Ushul Fiqih yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah)
yaitu tentang ‘Am dan Khas.
Ilmu ushul fiqh
menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari
dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam
sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab
menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat
kejelasannya.
Secara garis besar,
metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi
mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga
Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan
takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk
hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. dalam makalah ini,
yang akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan
yang berbetuk amr(perintah) dan nahi (larangan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat di ambil, sebagai berikut:
1. Apa pengertian ‘Am dan
Khas?
2. Apa sajakah hukum-hukum ‘Am
dan Khas?
3.
Bagaimana kedudukan ‘Am
dan Khas?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Am’ dan Khas
Ada beberapa
kaidah-kaidah ushuliyyah, antara lain:
1. Am’ dan Khas
Menurut para ulama Ushul
Fiqih ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada
lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)[1]
Pengertian am’ dan khas
Ditinjau dari segi bahasa,
kata ‘amm berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘amm menurut
Istilah yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَاللَّفْظُ
اْلمُسْتَغْرِقُ بِجَمِيْعِ ماَيَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة
Artinya:
‘‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang
mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah
tertentu”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi
pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan
tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini
mempunyai pengertian umum, jadi semua
manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan
berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat
lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan
– satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua
individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah
termasuk lafadz umum[2]
Pembahasan lafaz ‘am dalam kajian Ushul
Fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafaz ‘am mempunyai tingkat yang
luas serta menjadiperdebatan panjang di kalangan ulama dalam menetapkan hukum.
Di sisi lain, sumber hukum Islam baik dari Alquran maupun hadis dalam banyak
hal memakai lafaz umum yang bersifat universal dan cosmopolitan. Jumhur ulama
menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek
tertentu walaupun tanpa qarinah.Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari
golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiya menyatakan
bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan
penyertaan.
2. Pengertian Khas
Khas adalah isim fail
yang berasal dari kata kerja :خَصَّصَ – يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا -
خَاصِّ yang mengkhususkan atau
menentukan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh,
lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat, seperti yang disebutkan
Abu zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang
khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula
selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain[3]
Adapun lafadz Khas menurut bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak
meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut
istilah, definisi khas adalah lafadh
yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad.
Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat,
sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz
yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh
individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian
tertentu.
Dari definisi yang dikemukakan
tersebut mengidenfikasikan bahwa lafaz musyatarak dan lafaz am tidak masuk
dalam defines ini karena lafdz musyatarak mengandung beberapa kemungkinan
makna. Sedangkan lafaz am mengandung arti secara umum dan tidak tertentu dari
lafaz itu. Adapun dari cara penunjukan lafaz atas suatu arti ini bisa dalam
berbagai bentuk yaitu bentuk genius seperti lafaz insanun yang diperuntukan
untuk hewan yang berfikir atau berbentuk spesies (nau) seperti kata laki-laki
dan perempuan atau dalam bentuk personal yang berbeda-beda tetapi terbatas
seperti bilangan angka (1, 3, 10. 80. 1000) dan seterusnya.
B. Hukum ‘Am dan Khas
1.
Hukum Am’
Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah
(indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah.
Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan
bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah
lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan
adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya[4]
Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i
menurut hanafiyah ialah :“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan
suatu dalil.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama
sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya
tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka
dilalahnya zanni.
Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh apabila
dipasangkan pada suatu makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang
mengubahnya.
Berdasarkan penelitian terhadap nash telah diperoleh ketetapan
bahwa lafaz yang umum (amm) ada tiga macam, yaitu:
a) Lafaz amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti, yaitu lafaz
amm yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya.
b) Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti.
Yakni lafaz umum yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan keumumannya dan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagainnya.
c) Lafaz amm (umum) yang ditakhisis, yaitu lafaz yang umum yang
bersifat muthlaq, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang menyertainya
yang meniadakan kemungkinan pengtakhsisannya, maupun qarinah yang menghilangan
dalam umumnya.
2.
Hukum Khas
Lafadz yang terdapat pada nash menunjukkan
satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya.
Dengan semikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar
pada dalil, maka ke qathian dilalahnya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafaz khas
dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafaz itu memberi
faedah hukum secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafaz
itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia menunjukkan berupa tuntutan
kewajiban bagi orang yang diperintahkan (ma’mur bih)selama tidak ada dalil yang
memalingkannya dari makna yang lain yang dikandungnya. Demikian juga, jika lafadz
itu dalam bentuk laragan (nahy), maka ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan
dari perbuatan itu selama tidak ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.
Kata tsalasah mengandung pengertian khas yang tidak mungkin
mengandung arti lebih atau kurang dari makna yang di kehendaki oleh lafadz itu
sendiri yaitu tiga.Oleh karena itu, penunjukkan makna yang dikandungnya adalah
sesuatu yang pasti (qath’i).
Terhadap adanya kemungkinan untuk ditakwil
dalam lafadz khas, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafadz khas
tersebut dari maknanya yang haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah
yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki dan karena adanya maksud untuk
memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut.
Hukum lafadz khas secara garis besar adalah bahwasannya
apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i
terhadap maknanya yang khusus yang ditetapkannya untuknya secara hakekat.
Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan
dengan jalan zhann (dengan kuat)[5]
Hukum yang diambil hadis Nabi saw:
Artinya:
”Pada tiap-tiap empat puluh ekor kambing
adalah seekor kambing”.
Adalah penentuan nishab kambing yang wajib dikeluarkan
zakatnya yaitu: empat puluh ekor kambing. Penentuan yang wajib adalah seekor
kambing, tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang, baik pada yang ini
maupun yang itu.
Akan tetapi apabila ada dalil yang menuntut
pentrakwilan lafadz yang khusus ini, maksudnya dibawakan kepada pengertian yang
dituntut oleh dalil itu. Misalnya hal ini ialah penjelasan yang telah kami
kemukakan dalam mentakwilkan ”kambing” dalam hadis terdahulu oleh ulama
Hanafiyyah, dengan sesuatu yang meliputinya dan meliputi segala bentuk
penggantian yang sebanding dengan sesuatu yang dirusakkan.
C. Kedudukan ’Am dan Khas
1.
Kedudukan ’Am
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafadz
al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja
dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar
pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin
keumuman lafadznash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal,
adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i
atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama
dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafadz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny
dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya. Kalangan ulama hanafi seperti dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan
bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai
ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan
kaidah “ apa bila terdapat suatu lafadz yang umum, maka maksud seluruh satuan
–satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang
mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup
didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama,
seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny
buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum
diamalkan Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ
مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafadz al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah
dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.[6]
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga
lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah)
bahwa dilalah ’am itu adalah dzanni. Dengan alasan, dilalah ’am itu termasuk
bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhshish. Dan
kemungkinan tersebut pada lafadz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama
kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa
dilalahnya adalah qathi.
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah
yang berbunyi:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ
مِنْهُ الْبَعْضَ
Terjemahnya:
“ Tidak ada suatu lafaz am kecuali sudah
dimunkinkan untuk di takhsis”.[7]
Pakar Ushul Fiqih dari kalangan Hanafiyah membantah argument
tersebut dengan alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan,
sebab timbulnya dari ucapan pembicaraan bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”[8]
Konsekuensi dari pendapat ini ialah tidak sah mentakhshishkan
lafaz yang umum pada pentakhsishan yang pertama kali dengan dalil zhanni.Sebab
dalil zhanni tidak dapat mentakhshiskan dalil yang qath’i.selanjutnya sah
mentakhshiskannya dengan dalil zhanni pada pentakhsishkan yang kedua dan
ketiga. Karena setelah pentakhshishan yang pertama, lafadz yang umum itu
menjadi zhanni pula.Konsekuensinya lagi, bahwa bisa saja terjadi pertentangan
antara lafaz umum yang belum ditakhshish dengan lafadz yang khas (yang bersifat
khusus) yang qath’i, sebab kedua-duanya adalah dalil qath’i.
Hujjah mereka terhadap pendapat mereka ialah: bahwasanya lafadz
yang umum pada hakekatnya ditetapkan untuk menghabiskan seluruh satuan yang
berkenaan dengan maknanya. Sedangkan lafaz ketika dimutlakkan, maka ia menunjukkan
atas maknanya secara hakiki dengan pasti.Lafadz yang umum yang terlepas dari
qarinah yang mengkhususkannya menunjukkan keumumannya secra pasti. Ia tidak
boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki kecuali dalil. Oleh karena inilah,
maka para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid beristindal dengan keumuman
lafadz-lafadz yang umum yang terdapat dalam nash secara mutlak dari takhshish.
Nereka mengingkari pentakhshishannya tanpa dalil.Apabila lafadz yang umum
ditakhshish dengan dalil, maka hal ini menunjukkan pemaligannya dari maknanya
yang hakiki, yaitu keumumannya, dan menujjukan pada penggunaannya dalam
pengertian yang majazi, yaitu makna khusu. Selanjutnya ia mengandung
kemungkinan untuk ditakhshiskan pada kedua kalinya, diqiyaskan pada pentakhshishan
yang pertama.
Sebab illat ( alasan) pada takhshish yang pertama mungkin saja
terwujud pada satuan yang lainnya. Jadi, seakan-akan takhshish yang pertama
membuka lubang pada keumumannya dan memberikan peluang bagi pembukaan
lubang-lubang lainnya.Oleh karena inilah, maka lafadz yang umum ditakhshishkan
menjadi zhanni dalalahnya terdapat sesuatau yang tersisa setelah takhshish.
2.
Kedudukan Khas
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh
ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua
lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang
ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadz tersebut
adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat
qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah
untuk menolong fakir miskin.Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan
memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor
kambing yang dizakatkan.
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah
al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang
memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra,
bahwa dalalah lafadz al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas).Menurut Zahra hal ini
tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di
jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafadz al-Khas menunjukan kecuali ada
dalil lain yang mengubahnya.Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat
dipahami bahwa meskipun lafadz al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada
kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan
untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafadz
al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak
.Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat.
Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafadz
al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena iasudah pasti. Dalam hal
ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut
terakhir ini.
Golongan syafiiyah memandang bahwa lafadz
khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari sisi
ini mereka memandang lafadz khas itu sebagai lafaz mujmal.Oleh karena sebab
itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafadz khas yang
terdapat dalam Alquran dengan hadis ahad yang merupakan penjelesannya.Maka
menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut
merupakan penjelasan terhadap ayat Alquran dan termasuk fardu dalam ruku’.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria., 2005. Ushul Fiqih, Jakarta: Prenadamedia
Group.
Khallaf, Abdul Wahab., 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang:
Toha Putra
Minhajuddin., 2010. Ushul Fiqih II, Makassar: Alauddin
Press.
Umam Khoirul , Achyar Aminudin., 2011 Ushul Fiqih II,
Bandung: CV Pustaka Setia.
[2]Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul Fiqih 11, Bandung:
CV Pustaka Setia,2001, h. 61
[3]Ibid, h. 205
[5]Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Usul Fiqih, diterjemahkan
oleh Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha
Putra, 1994, h. 299
[6]Ibid, h. 301
[7]Ibid.
[8]Minjahuddin, op cit., h. 8
No comments:
Post a Comment