Thursday, November 14, 2019

Hukum-hukum ‘Am dan Khas


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul Fiqih yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Am dan  Khas.
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah) dan nahi (larangan).

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat di ambil, sebagai berikut:
1.       Apa pengertian ‘Am dan  Khas?
2.       Apa sajakah hukum-hukum ‘Am  dan Khas?
3.       Bagaimana kedudukan ‘Am dan  Khas?




BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Am’ dan Khas
Ada beberapa kaidah-kaidah ushuliyyah, antara lain:
1.       Am’ dan Khas
Menurut para ulama Ushul Fiqih ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)[1]
Pengertian am’ dan khas
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘amm berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘amm menurut Istilah yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَاللَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ بِجَمِيْعِ ماَيَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة                                            
Artinya:
‘‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai  pengertian umum, jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah termasuk lafadz umum[2]
Pembahasan lafaz ‘am dalam kajian Ushul Fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafaz ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadiperdebatan panjang di kalangan ulama dalam menetapkan hukum. Di sisi lain, sumber hukum Islam baik dari Alquran maupun hadis dalam banyak hal memakai lafaz umum yang bersifat universal dan cosmopolitan. Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek tertentu walaupun tanpa qarinah.Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiya menyatakan bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan penyertaan.

2.       Pengertian Khas
Khas adalah isim fail yang berasal dari kata kerja :خَصَّصَ – يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا - خَاصِّ yang mengkhususkan atau menentukan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat, seperti yang disebutkan Abu zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain[3]
Adapun lafadz Khas  menurut bahasa ialah lafadz  yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah  lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut mengidenfikasikan bahwa lafaz musyatarak dan lafaz am tidak masuk dalam defines ini karena lafdz musyatarak mengandung beberapa kemungkinan makna. Sedangkan lafaz am mengandung arti secara umum dan tidak tertentu dari lafaz itu. Adapun dari cara penunjukan lafaz atas suatu arti ini bisa dalam berbagai bentuk yaitu bentuk genius seperti lafaz insanun yang diperuntukan untuk hewan yang berfikir atau berbentuk spesies (nau) seperti kata laki-laki dan perempuan atau dalam bentuk personal yang berbeda-beda tetapi terbatas seperti bilangan angka (1, 3, 10. 80. 1000) dan seterusnya.

B.       Hukum ‘Am dan Khas
1.       Hukum Am’
Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.  Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya[4]
Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalahnya zanni.
Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan pada suatu makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Berdasarkan penelitian terhadap nash telah diperoleh ketetapan bahwa lafaz yang umum (amm) ada tiga macam, yaitu:
a)      Lafaz amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti, yaitu lafaz amm yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya.
b)      Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti. Yakni lafaz umum yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagainnya.
c)       Lafaz amm (umum) yang ditakhisis, yaitu lafaz yang umum yang bersifat muthlaq, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang menyertainya yang meniadakan kemungkinan pengtakhsisannya, maupun qarinah yang menghilangan dalam umumnya.
2.       Hukum Khas
Lafadz yang terdapat pada nash menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya. Dengan semikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke qathian dilalahnya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafaz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafaz itu memberi faedah hukum secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafaz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia menunjukkan berupa tuntutan kewajiban bagi orang yang diperintahkan (ma’mur bih)selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari makna yang lain yang dikandungnya. Demikian juga, jika lafadz itu dalam bentuk laragan (nahy), maka ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan dari perbuatan itu selama tidak ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.
Kata tsalasah mengandung pengertian khas yang tidak mungkin mengandung arti lebih atau kurang dari makna yang di kehendaki oleh lafadz itu sendiri yaitu tiga.Oleh karena itu, penunjukkan makna yang dikandungnya adalah sesuatu yang pasti (qath’i).
Terhadap adanya kemungkinan untuk ditakwil dalam lafadz khas, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafadz khas tersebut dari maknanya yang haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut.
Hukum lafadz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat)[5]
Hukum yang diambil hadis Nabi saw:
Artinya:
”Pada tiap-tiap empat puluh ekor kambing adalah seekor kambing”.
Adalah penentuan nishab kambing yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu: empat puluh ekor kambing. Penentuan yang wajib adalah seekor kambing, tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang, baik pada yang ini maupun yang itu.
Akan tetapi apabila ada dalil yang menuntut pentrakwilan lafadz yang khusus ini, maksudnya dibawakan kepada pengertian yang dituntut oleh dalil itu. Misalnya hal ini ialah penjelasan yang telah kami kemukakan dalam mentakwilkan ”kambing” dalam hadis terdahulu oleh ulama Hanafiyyah, dengan sesuatu yang meliputinya dan meliputi segala bentuk penggantian yang sebanding dengan sesuatu yang dirusakkan.
C.       Kedudukan ’Am dan Khas
1.       Kedudukan ’Am
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafadz al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafadznash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafadz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya.  Kalangan ulama hanafi seperti  dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah “ apa bila terdapat suatu lafadz yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum diamalkan Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafadz al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.[6]
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah ’am itu adalah dzanni. Dengan alasan, dilalah ’am itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafadz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa dilalahnya adalah qathi.
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah yang berbunyi:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
                  Terjemahnya:
“ Tidak ada suatu lafaz am kecuali sudah dimunkinkan untuk di takhsis”.[7]
Pakar Ushul Fiqih dari kalangan Hanafiyah membantah argument tersebut dengan alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicaraan bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”[8]
Konsekuensi dari pendapat ini ialah tidak sah mentakhshishkan lafaz yang umum pada pentakhsishan yang pertama kali dengan dalil zhanni.Sebab dalil zhanni tidak dapat mentakhshiskan dalil yang qath’i.selanjutnya sah mentakhshiskannya dengan dalil zhanni pada pentakhsishkan yang kedua dan ketiga. Karena setelah pentakhshishan yang pertama, lafadz yang umum itu menjadi zhanni pula.Konsekuensinya lagi, bahwa bisa saja terjadi pertentangan antara lafaz umum yang belum ditakhshish dengan lafadz yang khas (yang bersifat khusus) yang qath’i, sebab kedua-duanya adalah dalil qath’i.
Hujjah mereka terhadap pendapat mereka ialah: bahwasanya lafadz yang umum pada hakekatnya ditetapkan untuk menghabiskan seluruh satuan yang berkenaan dengan maknanya. Sedangkan lafaz ketika dimutlakkan, maka ia menunjukkan atas maknanya secara hakiki dengan pasti.Lafadz yang umum yang terlepas dari qarinah yang mengkhususkannya menunjukkan keumumannya secra pasti. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki kecuali dalil. Oleh karena inilah, maka para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid beristindal dengan keumuman lafadz-lafadz yang umum yang terdapat dalam nash secara mutlak dari takhshish. Nereka mengingkari pentakhshishannya tanpa dalil.Apabila lafadz yang umum ditakhshish dengan dalil, maka hal ini menunjukkan pemaligannya dari maknanya yang hakiki, yaitu keumumannya, dan menujjukan pada penggunaannya dalam pengertian yang majazi, yaitu makna khusu. Selanjutnya ia mengandung kemungkinan untuk ditakhshiskan pada kedua kalinya, diqiyaskan pada pentakhshishan yang pertama.
Sebab illat ( alasan) pada takhshish yang pertama mungkin saja terwujud pada satuan yang lainnya. Jadi, seakan-akan takhshish yang pertama membuka lubang pada keumumannya dan memberikan peluang bagi pembukaan lubang-lubang lainnya.Oleh karena inilah, maka lafadz yang umum ditakhshishkan menjadi zhanni dalalahnya terdapat sesuatau yang tersisa setelah takhshish.
2.       Kedudukan Khas
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadz tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin.Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafadz al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas).Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafadz al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafadz al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafadz al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak
.Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafadz al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena iasudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
Golongan syafiiyah memandang bahwa lafadz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari sisi ini mereka memandang lafadz khas itu sebagai lafaz mujmal.Oleh karena sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafadz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadis ahad yang merupakan penjelesannya.Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Alquran dan termasuk fardu dalam ruku’.




















DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria., 2005. Ushul Fiqih, Jakarta: Prenadamedia Group.
Khallaf, Abdul Wahab., 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra
Minhajuddin., 2010. Ushul Fiqih II, Makassar: Alauddin Press.
Umam Khoirul , Achyar Aminudin., 2011 Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka Setia.












                                                                                                                                          



[1]Prof. Minhajuddin, Usul Fiqih II, Makassar: Alauddin Press, 2010, h. 3

[2]Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul Fiqih 11, Bandung: CV Pustaka Setia,2001, h. 61
[3]Ibid, h. 205
[4]Ibid, h. 6
[5]Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Usul Fiqih, diterjemahkan oleh Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Toha Putra, 1994, h. 299
[6]Ibid, h. 301
[7]Ibid.
[8]Minjahuddin, op cit., h. 8

No comments:

Post a Comment

Download Filem When the Phone Rings Full Episode : Sebuah Misteri Mencengkeram di Balik Panggilan Telepon

When the Phone Rings: Sebuah Misteri Mencengkeram di Balik Panggilan Telepon "When the Phone Rings" adalah drama Korea Selatan yan...