Monday, September 30, 2019

MAKALAH METODE IJTIHAD


                                                        BAB I
                                              PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menuntut umat Islam untuk membuka cakrawala berpikir sehingga tidak tertinggal jauh dari yang lain.Dalam hukum Islam nalar  atau ra’yu merupakan suber hukum pelengkap.Dalam mencapai hukum Islam yang selaras dengan perkembangan inilah para ulama ushul fiqih mengembangkan berbagai metode.
 Keragaman metode disebabkan oleh penafsiran mereka terhadap nas dan juga karena perbedaan tempat dan waktu, namun semua metode ini ditujukan untuk mencapai tujuan hukum Islam, yaitu mewujudkan maslahat dan menghindarkan mafsadat.

B. RUMUSAN MASALAH
     1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
     2. Apa saja metode-metode ijtihad?
     3. Ada berapa macam- macamnya ijtihad?

C. TUJUAN
     1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
     2. Untuk mengetahui metode-metode ijtihad
     3. Untuk mengetahui macam-macam nya ijtihad






BAB II
PEMBAHASAN
METODE IJTIHAD

A.    Pengertian Ijtihad

Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada yang artinya bersunggung-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman Ishak, 1980:1).[[1]] Secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216).[[2]]
Dalam hubungannya dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Mohammad Daud Ali, 2011:116).
Hukum Islam diperoleh dari sumbernya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sekurang-kurangnya dilakukan dengan dua cara. Pertama, diperoleh secara langsung berdasarkan hukum yang terdapat pada ayat Al-Quran atau As-Sunnah. Cara ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran atau As-Sunah yang sudah jelas menunjukkan suatu hukum tertentu secaara qat’iy. Kedua, dilakukan dengan mengambil makna yang terkandung dalam suatu ayat Al-Quran atau As-Sunah. Hal ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran atau As-Sunnah yang bersifat dzanny dengan jalan ijtihad. Ijtihad dilakukan oleh para ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, dengan mengerahkan segenap kemampuan berfikir yang ditunjang oleh kekuatan dzikir dan doa, oleh sebab itu ijtihad menjadi sumber hukum pelengkap bagi ummat Islam.
B.     Metode-metode Ijtihad
Metode-metode yang umum dipergunakan dalam ijtihad adalah: ishtihsan, al-maslahah al-mursalah,istishhab, dan ‘urf
1.      Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'[[3]], menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).

2.      al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak  karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.

3.    Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

4.    ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.


B.     Dasar Hukum Ijtihad
Menurut Effendi (2005,246), banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad, antara lain :
1.      Q.S An-Nisa ayat 59 :




Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S: an-Nisa’/4:59)
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah  untuk dijangkau begitu saja,[[4]] atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur’an karena persamaan ‘illat-nya’ seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
2.      Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusa dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut :
“Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ; “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi : “kalau tidak Anda temukan adalam Sunnah Rasulullah?’, Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR.Tirmizi)
            Menurut imam Syafi,i ra  (2010,107-108)[[5]], bagi seseorang yang sudah memenuhi persayratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu :

1.      Orang tersebut dihukum fardhu’ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.[[6]]

2.      Juga dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.

3.      Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
4.      Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
5.      Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.

C.    Kedudukan dan Fungsi Ijtihad

Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-qur’an maupun Hadis. Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak ada ijtihad padanya(Djalil,2010 :186).[[7]]
            Bila dilihat  dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil ijtihadnya tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh Al-Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah benar dan tidak ada dosa diatasnya(Djalil,2010 :186).
            Menurut Djalil (2010:186), tentang kedudukan hasl  ijtihad dalam masalah fiqh, terdapat dua golongan, yaitu :
a.       Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu masalah adalah karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b.      Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah. Golngan ini beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk Asysyafi’I, berdalil dengan hadis, yang artinya : “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu pahala”(H.R.Buchari dan Muslim).
Imam Syafi’I ra (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukm dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang diwajibkan lainnya(Effendi,2005:249).
Pernyataan Imam Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashalah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsiphukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya        (Effendi, 2005: 250).

E.     Macam-Macam Ijtihad
Menurut Shiddieqy ( 1999,192-193), ijtihad ada beberapa macam, yaitu :
1.      Memberi segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini, kita berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan jalannya sampai kepada kita[[8]].
2.      Memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir ra’yi.
3.      Memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliyah, taka da padanya suatu nash tertentu, taka da pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya kembali kepada mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau mashlahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal (Syafe’i,2010:103-104).
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dsarnya atau tidak(Syafe’i,2010:104).[[9]]
Menurut Syafe’i (2010:104), berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat[[10]], yaitu :
1.      Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
2.      Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3.      Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah denga menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Menurut Syafe’i (2010:104), pembagian diatas masih belum sepurna, seperti yang diungkapka oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1.      Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan,dan lain-lain.
2.      Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, giyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan lain-lain.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.      Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
2.      Dasar hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag menjelaskan tentang mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai ijtihad dan hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal mengenai ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
4.      Macam-macam Ijtihad, antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi, Ijtihad Al-Istishlah, Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syar’i.













DAFTAR PUSTAKA


1.   Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.
2.   Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988
3.   Kasuwi Saiban. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan
4.   Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
6.   Dr. Misbahuddin, S.Ag, M.Ag, Ushul Fiqh II, Alauddin University
7.   Press (Misbahuddin,2014:130). Ade Iwan Setiawan, Penghijauan dengan
 8.  Tanaman Potensial,Penebar Swadaya, Depok,  2002, hlm. 14.



 [[1]].Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya
[[2]]. Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.

[[3]]..   Dr. Misbahuddin, S.Ag, M.Ag, Ushul Fiqh II, Alauddin University

[[4]].Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar
[[5]].Press (Misbahuddin,2014:130). Ade Iwan Setiawan

[[6]]. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010


[[7]].Ibid, hlm. 6

[[8]]..  Tanaman Potensial,Penebar Swadaya, Depok,  2002, hlm. 14.

[[9]].  Ibid, hlm. 9
[[10]]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010

No comments:

Post a Comment

Download Filem When the Phone Rings Full Episode : Sebuah Misteri Mencengkeram di Balik Panggilan Telepon

When the Phone Rings: Sebuah Misteri Mencengkeram di Balik Panggilan Telepon "When the Phone Rings" adalah drama Korea Selatan yan...