BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi menuntut umat Islam untuk membuka cakrawala berpikir
sehingga tidak tertinggal jauh dari yang lain.Dalam hukum Islam nalar atau ra’yu merupakan suber hukum
pelengkap.Dalam mencapai hukum Islam yang selaras dengan perkembangan inilah
para ulama ushul fiqih mengembangkan berbagai metode.
Keragaman metode disebabkan oleh penafsiran
mereka terhadap nas dan juga karena perbedaan tempat dan waktu, namun semua
metode ini ditujukan untuk mencapai tujuan hukum Islam, yaitu mewujudkan
maslahat dan menghindarkan mafsadat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang
dimaksud dengan ijtihad?
2. Apa saja
metode-metode ijtihad?
3.
Ada berapa macam- macamnya ijtihad?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengertian ijtihad
2. Untuk
mengetahui metode-metode ijtihad
3.
Untuk mengetahui macam-macam nya ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
METODE IJTIHAD
A. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa
Arab berasal dari kata jahada yang artinya bersunggung-sungguh
atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman Ishak, 1980:1).[[1]] Secara terminologis,
ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam
mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang
terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216).[[2]]
Dalam hubungannya
dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan oleh orang (ahli hukum)
yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak
ada ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Mohammad Daud Ali,
2011:116).
Hukum Islam diperoleh
dari sumbernya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sekurang-kurangnya dilakukan
dengan dua cara. Pertama, diperoleh secara langsung berdasarkan hukum yang
terdapat pada ayat Al-Quran atau As-Sunnah. Cara ini dilakukan terhadap ayat
Al-Quran atau As-Sunah yang sudah jelas menunjukkan suatu hukum tertentu
secaara qat’iy. Kedua, dilakukan dengan mengambil makna yang terkandung dalam
suatu ayat Al-Quran atau As-Sunah. Hal ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran
atau As-Sunnah yang bersifat dzanny dengan jalan ijtihad. Ijtihad dilakukan
oleh para ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, dengan mengerahkan segenap
kemampuan berfikir yang ditunjang oleh kekuatan dzikir dan doa, oleh sebab itu
ijtihad menjadi sumber hukum pelengkap bagi ummat Islam.
B. Metode-metode
Ijtihad
Metode-metode yang
umum dipergunakan dalam ijtihad adalah: ishtihsan, al-maslahah
al-mursalah,istishhab, dan ‘urf
1. Istihsan
Istihsan menurut
bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'[[3]], menuju (menetapkan)
hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara'
yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam
meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
2. al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang
tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh
untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut
juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui
kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah
semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah
al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
3. Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari
sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh,
ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan
lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah
menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau
menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang
telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada
masa sekarang.
4. ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah
dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat
(adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan
pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat
disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di
kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada
sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
B. Dasar
Hukum Ijtihad
Menurut Effendi
(2005,246), banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan
ijtihad, antara lain :
1. Q.S
An-Nisa ayat 59 :
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (Q.S: an-Nisa’/4:59)
Perintah mengembalikan sesuatu yang
diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah
peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk
kembali kepada Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas
kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau
begitu saja,[[4]] atau berijtihad
dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya
dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur’an karena persamaan ‘illat-nya’
seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti
kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang
dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud
oleh ayat itu.
2. Hadis
yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman,
menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan
secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah,
dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan
mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri
utusa dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti
hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut :
“Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang
teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka
beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan,
dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ; “kalau tidak anda
temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW.
Beliau bertanya lagi : “kalau tidak Anda temukan adalam Sunnah Rasulullah?’,
Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata:
“Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah
SAW.” (HR.Tirmizi)
Menurut imam Syafi,i ra (2010,107-108)[[5]], bagi seseorang yang
sudah memenuhi persayratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada
orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu :
1. Orang
tersebut dihukum fardhu’ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang
menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh
taqlid kepada orang lain, karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah
terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.[[6]]
2. Juga
dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam
melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian
tersebut.
3. Dihukumi
fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi
syarat sebagai seorang mujtahid.
4. Dihukumi
sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun
tidak.
5. Dihukumi
haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara
qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.
C. Kedudukan
dan Fungsi Ijtihad
Masalah-masalah yang
menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny,
yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-qur’an maupun Hadis.
Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya
seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak ada ijtihad
padanya(Djalil,2010 :186).[[7]]
Bila dilihat dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap
hasil ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil
ijtihadnya tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh
Al-Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah benar dan
tidak ada dosa diatasnya(Djalil,2010 :186).
Menurut Djalil (2010:186), tentang kedudukan hasl ijtihad dalam masalah
fiqh, terdapat dua golongan, yaitu :
a. Golongan
I
Berpendapat bahwa,
tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an karena dalam masalah tersebut
Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu,
wajib mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu
masalah adalah karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b. Golongan
II
Berpendapat bahwa yang
benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum
Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah. Golngan
ini beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu masalah
sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang
terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk Asysyafi’I, berdalil
dengan hadis, yang artinya : “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar,
maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat
satu pahala”(H.R.Buchari dan Muslim).
Imam Syafi’I ra
(150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam bukunya Ar-Risalah, ketika
menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu
peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah
terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung
oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan
kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada
hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukm dari sumbernya itu.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketatan seseorang untuk melakukan
ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang
diwajibkan lainnya(Effendi,2005:249).
Pernyataan Imam
Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping
AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran
riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad,
atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad dan
berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashalah
mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan
prinsip-prinsiphukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan
itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas
jumlahnya (Effendi, 2005: 250).
E. Macam-Macam
Ijtihad
Menurut Shiddieqy ( 1999,192-193), ijtihad ada
beberapa macam, yaitu :
1. Memberi
segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash
yang dhanni tusubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini, kita berijtihad
dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti
mengetahui sanad nash dan jalannya sampai kepada kita[[8]].
2. Memberi
segala daya kesungguhan untuk memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada padanya
nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita
memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah
yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut
ijtihad bir ra’yi.
3. Memberikan
segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan
menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang
mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliyah, taka da padanya suatu
nash tertentu, taka da pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau
istihsan. Hal ini sebenarnya kembali kepada mendatangkan kemashlahatan dan
menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.
Dikalangan ulama,
terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I menyamakan
ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui
ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau mashlahah mursalah. Sementara itu,
para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut
mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal (Syafe’i,2010:103-104).
Pemahaman mereka
tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan
apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya
mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dsarnya atau
tidak(Syafe’i,2010:104).[[9]]
Menurut Syafe’i
(2010:104), berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi
tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab
Al-Muwafaqat[[10]], yaitu :
1. Ijtihad
Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
2. Ijtihad
Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad
Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah denga menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Menurut Syafe’i
(2010:104), pembagian diatas masih belum sepurna, seperti yang diungkapka oleh
Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an, diantaranya
jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian saja,
yaitu:
1. Ijtihad
al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan
dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti
kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila
tidak disertai penjelasan,dan lain-lain.
2. Ijtihad
syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini
adalah ijma’, giyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ijtihad
adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad dilakukan oleh
orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Hasil dari
kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat
praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
2. Dasar
hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag menjelaskan tentang
mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh
ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai ijtihad dan hadis yang diriwayatkan
dari Mu’az bin Jabal mengenai ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab
pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara
berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan
kemudian dengan melakukan ijtihad.
4. Macam-macam Ijtihad,
antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi, Ijtihad Al-Istishlah, Ijtihad
al-aqli dan Ijtihad syar’i.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hanafi. 1993. Ushul
Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.
2. Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988
2. Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988
3. Kasuwi Saiban. 2005.
Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan
4. Hukum Fiqih
Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
6. Dr. Misbahuddin, S.Ag, M.Ag, Ushul
Fiqh II, Alauddin University
7. Press (Misbahuddin,2014:130). Ade Iwan
Setiawan, Penghijauan dengan
8. Tanaman Potensial,Penebar Swadaya,
Depok, 2002, hlm. 14.
No comments:
Post a Comment