Thursday, November 26, 2020

ANTARA ISLAM TEKS DAN ISLAM KONTEKS: TELAAH JARINGAN ISLAM LIBERAL DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA

 ANTARA ISLAM TEKS DAN ISLAM KONTEKS: TELAAH JARINGAN ISLAM LIBERAL DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA

Oleh: Meri Fitri Yanti*

 

Tantangan yang dihadapi oleh para pemikir agama, termasuk para sarjana Muslim, di era modern dan postmodern ini memang sangat berat. Mereka dihadapkan pada berbagai masalah dan isu modernitas yang belum ada pada masa sebelumnya, seperti isu kesetaraan gender, hak asasi manusia, humanisme, liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan isu-isu modernitas lainnya. Hal ini menuntut para cendekiawan agama untuk melakukan pembacaan kembali (rereading) terhadap kitab suci (al-Qur’an) sebagai sumber rujukan agama. Bagi para sarjana Muslim modern, pembacaan ulang ini bukan hanya berupa pembacaan yang berpijak pada otoritas teks semata (secara literal), tetapi lebih dari itu mereka berusaha menunjukkan signifikansi dan nilai kontributif teks keagamaan tersebut bagi kehidupan modern yang sedang dihadapi. Kenyataan bahwa teks (nash) bersifat terbatas sedangkan realitas (waqa’i) terus berkembang. Menuntut pada sarjana Muslim, untuk melakukan penafsiran (interpretation) yang cocok dengan denyut nadi perkembangan zaman.

Penafsiran kontekstual yaitu menekankan konteks sosio-historis dalam proses penafsirannya. Selain itu juga melihat nilai etis dari ketetapan legal (the ethico-legal content) al-Qur’an, daripada makna literalnya. Berbeda dengan tafsir tekstual yang secara ketat mendasarkan pemaknaan teks pada unsur linguistik dan keterangan riwayat, tafsir kontekstual melihat bahwa unsur politik, sosial, sejarah, budaya, dan ekonomi adalah hal-hal penting dalam upaya memahami makna teks (pada saat diturunkan, pada saat teks itu ditafsirkan, dan kemudian pada saat diterapkan).Berbeda dengan tafsir tekstual,yang cenderung teologis-filosofis, tafsirkontekstual lebih cenderung sosiologis, aksiologis, dan antropologis, karena tujuannya yang ingin memenuhi kebutuhan kaum Muslim di era kontemporer sekarang ini.

Secara teknis, istilah “Islam liberal” yang digunakan JIL(Jaringan Islam Liberal)pada awalnya dipopulerkan oleh seorang sarjana Muslim India Asaf Ali Asghar Fyzee, di tahun 1950an. Istilah tersebut menjadi tambah populer di Indonesia melalui dua buku, yaitu Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1988) yang ditulis oleh Leonard Binder, dan Liberal Islam: a Source Book (New York and Oxford: Oxford University Press, 1998) yang diedit oleh Charles Kurzman. Disusul kemudian dengan diterbitkannya buku Greg Barton yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980

Sekilas tentang JIL adalah sebuah jaringan intelektual di Indonesia yang mempromosikan gagasan Islam liberal. JIL didirikan oleh para aktivis Utan kayu,di Jakarta pada 8 April 2001. Anggota-anggotanya, baik yang merupakan aktivis struktural, partisipan, maupun para tokoh rujukan (senior), merasa memiliki kesamaan dalam hal perlunya mempromosikan gagasan liberalisme Islam, yang mencakup di dalamnya isu demokrasi,pemisahan antara agama dan negara, kebebasan berfikir, kesetaraan sosial, hak-hak perempuan dan minoritas, dan progresifitas manusia.Sejak didirikannya, JIL telah mencoba menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan ide-ide liberalisme Islam yang mereka yakini, yaitu Islam yang dipahami secara liberal berdasarkan prinsip-prinsip: (1) terbukanya pintu ijtihad dalam seluruh dimensi Islam; (2) penafsiran yang menitik-beratkan pada aspek etikareligius, dan bukan pada makna tekstual-literalnya; (3) percaya pada kebenaran yang relatif, terbatas, dan temporal; (4) mengusung kebebasan menjalankan keyakinan agama; (5) pemihakan pada kaum tertindas dan pihak minoritas; dan (6) pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia.

Secara historis, kemunculan JIL merupakan respon atau gerakan tandingan (counter movement) terhadap gerakan-gerakan fundamentalis-radikal di Indonesia yang mengemuka tidak lama setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998.Dalam posisinya sebagai kelompok yang memperjuangkan ruang publik (public sphere) di Indonesia, JIL berperan sebagai counter discourse bagi kelompok-kelompok radikal-konservatif Muslim yang menyerukan penerapansyari’ah dan pembentukan negara Islam Indonesia.

Bagi JIL, Indonesia adalah bangsa majemuk/plural yang membutuhkan ruang publik. Apapun yang menyangkut urusan bersama harus dimusyawarahkan secara bebas dan demokratis. Selama keberadaannya, JIL terus mendukung sistem demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan sosial.Secara ideologis, terbentuknya JIL dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kelanjutan dari pemikiran dan gerakan Islam sebelumnya, baik dalam lingkup Indonesia secara khusus maupun di dunia secara umum.Ide liberalisme Islam sebagai ciri khas JIL misalnya, tidak bisa dilepaskan dari gagasan dan pemikiran para sarjana Muslim sebelumnya. Mengikuti para pendahulunya, JIL berpendapat bahwa agar Islam cocok dengan tuntutan era kontemporer, maka ia harus ditafsirkan secara substansial dan kontekstual.  Dalam skala internasional, gagasan Islam liberal dapat kita lihat dalam pemikiran seperti al-Tahtawi, Jamal al-Din al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida, Ali ‘Abd al-Raziq.  Fazlur Rahman, Muhammad Abed al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, ‘Abd al-Karim Soroush, Fatima Mernissi, Muhammad Shahrour, Mohamed Arkoun, Asgar Ali Engineer, ‘Abdullahi Ahmad al-Na’im, Hasan Hanafi, dan Farid Essack. Mereka semua bertemu dalam titik episentrum pemikiran yang sama yaitu menyerukan untuk berijtihad, menghindari taklid, dan berusaha menafsirkan teks Islam secara substansial dan kontekstual, agar ia sesuai dengan tuntutan era modern.

Di Indonesia, gagasan Islam liberal dapat kita telusuri akar historisnya paling tidak sejak tahun 1970-an, ketika Nurcholish Madjid menulis sebuah artikel berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam artikel tersebut Madjid mulai memperkenalkan ide liberalisasi, sekularisasi, dan modernisasi Islam.Karena pemikiran-pemikirannya yang sangat berpengaruh, maka para aktivis JIL mengakui apabiladikatakan bahwa Nurcholish Madjid adalah lokomotif intelektual bagi wacana Islam liberal di Indonesia sekarang ini.Selain Nurcholish Madjid, gagasan Islam liberal di Indonesia juga dapat kita temukan pada para sarjana Muslim seperti Harun Nasution, A. Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Dawam Rahardjo. Dalam pemikiran keislamannya, mereka cenderung menekankan Islam yang substantif dan inklusif. Sebagai fenomena sosial, kemunculan dan keberadaan JIL dapat dilihat sebagai produk wacana (product of discourse).

Pemikiran Tafsir JIL dalam buku Metodologi Studi al-Qur’an,JIL menawarkan sebuah metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dalam buku tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk kita kaji. Pertama, terkait cara memandang al-Qur’an; kedua, terkait metode bagaimana menafsirkan al-Qur’an; dan ketiga, terkait tujuan dan hasil penafsirannya. Dengan pengetahuan tentang ketiga hal tersebut, kita akan dapat memahami kenapa JIL bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan mainstream dan cenderungmenjadi kontroversi, termasuk dalam memahami konsep Syariat Islam.

JIL mengajukan langkah-langkah penafsiran teks Islam (al-Qur’an) sebagai berikut: pertama, dimulai dengan memahami konteks ayat (di mana, kapan, dan dalam situasi seperti apa ayat itu diturunkan). Terkait hal ini, menurut JIL, untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seorang penafsir harus mengetahui konteks (sejarah), karena teks itu tidak cukup dengan sendirinya (self-sufficient).Proses ini dimaksudkan untuk menemukan prinsip-prinsip dasar hukum Islam (maqasid al-syari‘ah). Kedua, ketika maqasid al-syari‘ah-nya sudah diketahui, maka teks harus dilepaskan dari konteks Arabnya (dekontekstualisasi); dan ketiga, mengkontekstualisasikan maqasid al-syari‘ah tersebut dalam konteks partikular (bukan Arab) kontemporer. Tiga proses (kontekstualisasi, de-kontekstualisasi, dan rekontekstualisasi) ini, menurut JIL, adalah kerangka kerja (framework) dalam proses penafsiran teks Islam yang tak pernah akan berhenti.JIL memposisikan maqasidsyari’ah pada tingkatan paling atas. Bagi JIL, prinsip utama dalam menafsirkan teks adalah maqasid al-syari‘ah (tujuan utama dari ajaranIslam). Maqasid adalah sumber dari segala sumber hukum.

Secara keseluruhan terkait pandangan keislaman, JIL pada dasarnya mempercayai bahwa Islam harus dipahami sebagai agama yang hidup (living religion). Seperti halnya organisme, menurut JIL, Islam harus dilihat sebagai agama yang dinamis (tidak statis dan kaku). Bagi JIL, Islam harus menjadi agama yang membebaskan (liberatif), bukan agama yang dogmatis-restriktif.Sejalan dengan pandangan ini, JIL mencoba menawarkan penafsiran teks Islam secara kontekstual seperti telah dijelaskan di atas, yaitu penafsiran yang menekankan nilai etis-religius, bukan penafsiran yang menekankan makna literal teks.Dengan pemahaman semacam ini, menurut mereka, Islam akan selalu dinamis. Sejalan dengan pemikiran dan metode tafsirnya yang menolak penafsiran literalis, JIL menolak ajakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah yang hanya menekankan pada pembacaan literal, bukan melihat makna substansialnya.

 

 

 

*Mahasiswa Hukum Keluarga Program Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung

Meri Fitri Yanti. , S. Pd. I, SH. MH. MM

No comments:

Post a Comment

Download Filem When the Phone Rings Full Episode : Sebuah Misteri Mencengkeram di Balik Panggilan Telepon

When the Phone Rings: Sebuah Misteri Mencengkeram di Balik Panggilan Telepon "When the Phone Rings" adalah drama Korea Selatan yan...