ANTARA ISLAM TEKS DAN ISLAM KONTEKS: TELAAH JARINGAN ISLAM LIBERAL DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA
Oleh: Meri Fitri Yanti*
Tantangan
yang dihadapi oleh para pemikir agama, termasuk para sarjana Muslim, di era modern
dan postmodern ini memang sangat berat. Mereka dihadapkan pada
berbagai masalah
dan isu modernitas
yang belum ada
pada masa sebelumnya, seperti isu kesetaraan gender, hak asasi manusia, humanisme,
liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan isu-isu modernitas lainnya. Hal ini menuntut para cendekiawan agama untuk melakukan pembacaan kembali (rereading) terhadap kitab suci (al-Qur’an) sebagai sumber rujukan agama. Bagi
para sarjana Muslim modern, pembacaan ulang ini bukan hanya berupa pembacaan yang berpijak
pada otoritas teks semata (secara
literal), tetapi lebih dari itu mereka berusaha menunjukkan signifikansi dan nilai kontributif teks keagamaan tersebut bagi kehidupan modern yang
sedang dihadapi.
Kenyataan bahwa teks (nash) bersifat terbatas sedangkan realitas (waqa’i) terus berkembang. Menuntut pada sarjana Muslim, untuk melakukan
penafsiran (interpretation) yang
cocok dengan denyut nadi perkembangan zaman.
Penafsiran kontekstual yaitu menekankan konteks sosio-historis dalam proses
penafsirannya. Selain itu juga melihat nilai etis dari ketetapan legal (the ethico-legal content) al-Qur’an,
daripada makna literalnya. Berbeda dengan tafsir tekstual yang secara ketat
mendasarkan pemaknaan teks pada unsur linguistik dan keterangan riwayat, tafsir
kontekstual melihat bahwa unsur politik, sosial, sejarah, budaya, dan ekonomi
adalah hal-hal penting dalam upaya memahami makna teks (pada saat diturunkan,
pada saat teks itu ditafsirkan, dan kemudian pada saat diterapkan).Berbeda
dengan tafsir tekstual,yang cenderung teologis-filosofis,
tafsirkontekstual lebih cenderung sosiologis, aksiologis, dan antropologis,
karena tujuannya yang ingin memenuhi kebutuhan kaum Muslim di era kontemporer
sekarang ini.
Secara teknis, istilah “Islam liberal” yang digunakan JIL(Jaringan
Islam Liberal)pada awalnya dipopulerkan oleh seorang sarjana Muslim India Asaf
Ali Asghar Fyzee, di tahun 1950an. Istilah tersebut menjadi tambah populer di
Indonesia melalui dua buku, yaitu Islamic Liberalism: a Critique of Development
Ideologies (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1988) yang
ditulis oleh Leonard Binder, dan Liberal Islam: a Source Book (New York and
Oxford: Oxford University Press, 1998) yang diedit oleh Charles Kurzman.
Disusul kemudian dengan diterbitkannya buku Greg Barton yang berjudul Gagasan
Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980
Sekilas tentang JIL adalah sebuah jaringan intelektual di
Indonesia yang mempromosikan gagasan Islam liberal. JIL didirikan oleh para
aktivis Utan kayu,di Jakarta pada 8 April 2001. Anggota-anggotanya, baik yang
merupakan aktivis struktural, partisipan, maupun para tokoh rujukan (senior),
merasa memiliki kesamaan dalam hal perlunya mempromosikan gagasan liberalisme Islam,
yang mencakup di dalamnya isu demokrasi,pemisahan antara agama dan negara,
kebebasan berfikir, kesetaraan sosial, hak-hak perempuan dan minoritas, dan
progresifitas manusia.Sejak didirikannya, JIL telah mencoba menafsirkan
al-Qur’an sesuai dengan ide-ide liberalisme Islam yang mereka yakini, yaitu
Islam yang dipahami secara liberal berdasarkan prinsip-prinsip: (1) terbukanya
pintu ijtihad dalam seluruh dimensi Islam; (2) penafsiran yang menitik-beratkan
pada aspek etikareligius, dan bukan pada makna tekstual-literalnya; (3) percaya
pada kebenaran yang relatif, terbatas, dan temporal; (4) mengusung kebebasan
menjalankan keyakinan agama; (5) pemihakan pada kaum tertindas dan pihak
minoritas; dan (6) pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia.
Secara historis, kemunculan JIL merupakan respon atau
gerakan tandingan (counter movement)
terhadap gerakan-gerakan fundamentalis-radikal di Indonesia yang mengemuka
tidak lama setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998.Dalam posisinya sebagai
kelompok yang memperjuangkan ruang publik (public
sphere) di Indonesia, JIL berperan sebagai counter discourse bagi kelompok-kelompok radikal-konservatif Muslim
yang menyerukan penerapansyari’ah dan pembentukan negara Islam Indonesia.
Bagi JIL, Indonesia adalah bangsa majemuk/plural yang
membutuhkan ruang publik. Apapun yang menyangkut urusan bersama harus
dimusyawarahkan secara bebas dan demokratis. Selama keberadaannya, JIL terus
mendukung sistem demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan sosial.Secara ideologis,
terbentuknya JIL dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kelanjutan dari
pemikiran dan gerakan Islam sebelumnya, baik dalam lingkup Indonesia secara
khusus maupun di dunia secara umum.Ide liberalisme Islam sebagai ciri khas JIL
misalnya, tidak bisa dilepaskan dari gagasan dan pemikiran para sarjana Muslim
sebelumnya. Mengikuti para pendahulunya, JIL berpendapat bahwa agar Islam cocok
dengan tuntutan era kontemporer, maka ia harus ditafsirkan secara substansial
dan kontekstual. Dalam skala
internasional, gagasan Islam liberal dapat kita lihat dalam pemikiran seperti
al-Tahtawi, Jamal al-Din al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh,
Muhammad Rashid Rida, Ali ‘Abd al-Raziq.
Fazlur Rahman, Muhammad Abed al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, ‘Abd
al-Karim Soroush, Fatima Mernissi, Muhammad Shahrour, Mohamed Arkoun, Asgar Ali
Engineer, ‘Abdullahi Ahmad al-Na’im, Hasan Hanafi, dan Farid Essack. Mereka
semua bertemu dalam titik episentrum pemikiran yang sama yaitu menyerukan untuk
berijtihad, menghindari taklid, dan berusaha menafsirkan teks Islam secara
substansial dan kontekstual, agar ia sesuai dengan tuntutan era modern.
Di Indonesia, gagasan Islam liberal dapat kita telusuri
akar historisnya paling tidak sejak tahun 1970-an, ketika Nurcholish Madjid
menulis sebuah artikel berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat”. Dalam artikel tersebut Madjid mulai memperkenalkan ide
liberalisasi, sekularisasi, dan modernisasi Islam.Karena pemikiran-pemikirannya
yang sangat berpengaruh, maka para aktivis JIL mengakui apabiladikatakan bahwa
Nurcholish Madjid adalah lokomotif intelektual bagi wacana Islam liberal di
Indonesia sekarang ini.Selain Nurcholish Madjid, gagasan Islam liberal di
Indonesia juga dapat kita temukan pada para sarjana Muslim seperti Harun Nasution,
A. Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib,
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Dawam Rahardjo. Dalam pemikiran keislamannya, mereka
cenderung menekankan Islam yang substantif dan inklusif. Sebagai fenomena
sosial, kemunculan dan keberadaan JIL dapat dilihat sebagai produk wacana (product of discourse).
Pemikiran Tafsir JIL dalam buku Metodologi Studi
al-Qur’an,JIL menawarkan sebuah metode dan pendekatan dalam memahami dan
menafsirkan al-Qur’an. Dalam buku tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk
kita kaji. Pertama, terkait cara
memandang al-Qur’an; kedua, terkait
metode bagaimana menafsirkan al-Qur’an; dan ketiga,
terkait tujuan dan hasil penafsirannya. Dengan pengetahuan tentang ketiga hal
tersebut, kita akan dapat memahami kenapa JIL bisa sampai pada
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan mainstream dan cenderungmenjadi
kontroversi, termasuk dalam memahami konsep Syariat Islam.
JIL mengajukan langkah-langkah penafsiran teks Islam
(al-Qur’an) sebagai berikut: pertama,
dimulai dengan memahami konteks ayat (di mana, kapan, dan dalam situasi seperti
apa ayat itu diturunkan). Terkait hal ini, menurut JIL, untuk bisa menafsirkan
al-Qur’an, seorang penafsir harus mengetahui konteks (sejarah), karena teks itu
tidak cukup dengan sendirinya (self-sufficient).Proses
ini dimaksudkan untuk menemukan prinsip-prinsip dasar hukum Islam (maqasid al-syari‘ah). Kedua, ketika maqasid al-syari‘ah-nya sudah diketahui, maka teks harus dilepaskan
dari konteks Arabnya (dekontekstualisasi); dan ketiga, mengkontekstualisasikan maqasid
al-syari‘ah tersebut dalam konteks partikular (bukan Arab) kontemporer.
Tiga proses (kontekstualisasi, de-kontekstualisasi, dan rekontekstualisasi)
ini, menurut JIL, adalah kerangka kerja (framework)
dalam proses penafsiran teks Islam yang tak pernah akan berhenti.JIL
memposisikan maqasidsyari’ah pada
tingkatan paling atas. Bagi JIL, prinsip utama dalam menafsirkan teks adalah maqasid al-syari‘ah (tujuan utama dari
ajaranIslam). Maqasid adalah sumber
dari segala sumber hukum.
Secara keseluruhan terkait pandangan keislaman, JIL pada
dasarnya mempercayai bahwa Islam harus dipahami sebagai agama yang hidup (living religion). Seperti halnya
organisme, menurut JIL, Islam harus dilihat sebagai agama yang dinamis (tidak
statis dan kaku). Bagi JIL, Islam harus menjadi agama yang membebaskan
(liberatif), bukan agama yang dogmatis-restriktif.Sejalan
dengan pandangan ini, JIL mencoba menawarkan penafsiran teks Islam secara kontekstual
seperti telah dijelaskan di atas, yaitu penafsiran yang menekankan nilai etis-religius, bukan penafsiran yang
menekankan makna literal teks.Dengan pemahaman semacam ini, menurut mereka,
Islam akan selalu dinamis. Sejalan dengan pemikiran dan metode tafsirnya yang
menolak penafsiran literalis, JIL menolak ajakan kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah yang hanya menekankan pada pembacaan literal,
bukan melihat makna substansialnya.
*Mahasiswa
Hukum Keluarga Program Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung
Meri
Fitri Yanti. , S. Pd. I, SH. MH. MM
No comments:
Post a Comment